Jumat, 26 Agustus 2011

Puisi

Puisi adalah salah satu ragam karya sastra yang berisi ungkapan perasaan yang disusun ke dalam bentuk larik dan bait. Penyair membangun sebuah puisi dengan menggunakan unsur-unsur penyusun puisi. Unsur-unsur penyusun puisi itu dapat diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik.

Macam-Macam Puisi

Berdasarkan waktu kemunculannya di Indonesia, puisi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: puisi lama, puisi baru, dan puisi modern. Puisi lama adalah puisi-puisi yang munculnya sejak zaman purba, lalu berkembang pesat hingga tahun 1820. Puisi lama terbagi menjadi delapan jenis, yaitu: mantra, pantun, karmina, syair, gurindam, talibun, seloka, dan bidal. Puisi baru adalah puisi-puisi yang munculnya mulai tahun 1918 sampai sekitar 1966. Puisi baru ini dipengaruhi gaya sastra Eropa yang lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam hal bentuk, isi, maupun gaya bahasanya. Berdasarkan jumlah larik dalam tiap baitnya, puisi baru dibagi menjadi sembilan macam, yaitu: distikhon, tersina, kuatren, kuin, sekstet, septim, stanza/oktava, soneta, dan sanjak bebas. Puisi modern adalah puisi-puisi yang berkembang sesudah tahun 1966 hingga sekarang. Puisi modern tidak bisa lagi diklasifikasi berdasarkan jumlah larik dalam tiap baitnya karena puisi modern tidak lagi mau terikat pada aturan jumlah larik. Puisi modern memiliki sifat yang jauh lebih bebas daripada puisi baru dan puisi lama. Berdasarkan tingkat kesulitan memahami isinya, puisi modern dibagi menjadi tiga macam: yaitu (1) puisi diafan, yakni puisi yang biasanya ditulis oleh anak-anak, isinya mudah dipahami dan tidak memerlukan penafsiran; (2) puisi prismatis, yakni puisi yang isinya tidak mudah dipahami dan memerlukan penafsiran, tetapi juga tidak terlalu sulit untuk dipahami; dan (3) puisi gelap, yakni puisi yang isinya sangat sulit dipahami.

Larik dan Kalimat, Bait dan Paragraf

Mempelajari perihal puisi, ada hal penting yang perlu kita pahami lebih dulu, yakni (1) perbedaan antara larik dan kalimat, (2) perbedaan antara bait dan paragraf.
Larik tidak bisa disamakan dengan kalimat. Larik dan kalimat memiliki ciri-ciri yang berbeda. Kalimat selalu diawali huruf kapital dan diakhiri tanda titik. Kalimat selalu memiliki unsur subjek dan predikat, boleh ditambah pelengkap, keterangan, dan kata sambung. Larik tidak seperti itu. Larik tidak selalu diawali huruf kapital dan tidak selalu diakhiri tanda titik. Larik juga tidak selalu memiliki subjek dan predikat, adakalanya subjek saja atau predikat saja atau keterangan saja. Dari segi isinya, satu kalimat selalu memiliki satu maksud, sedangkan larik tidak selalu. Bisa saja, satu larik memiliki dua atau tiga maksud.
Bait juga tidak bisa disamakan dengan paragraf. Paragraf adalah kumpulan dari kalimat-kalimat yang isinya bisa langsung dipahami tanpa diperlukan penafsiran-penafsiran. Bait tidak seperti itu. Bait adalah kumpulan dari larik-larik yang isinya belum tentu bisa langsung dipahami karena adakalanya masih diperlukan penafsiran-penafsiran. Sebuah bait puisi bila dibaca oleh orang yang berbeda dan ditafsirkan dengan cara yang berbeda bisa saja menghasilkan penafsiran yang berbeda.

Unsur Ekstrinsik Puisi

Fananie (2000:77) menjelaskan bahwa faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Faktor ekstrinsik itu bisa berupa tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama, dan lain sebagainya. Dari penjelasan Fananie itu, dapat kita simpulkan bahwa unsur ekstrinsik puisi adalah hal-hal di luar puisi yang mempengaruhi penciptaan isi puisi, seperti agama, sosial budaya, politik, adat, kebiasaan, kenyataan hidup, keindahan alam, keadaan lingkungan, dan lain sebagainya. Proses penulisan puisi pasti akan dipengaruhi hal-hal ekstrinsik. Contoh: puisi yang berjudul “Hujan Badai” (karya Rustam Efendi) tentu isinya dipengaruhi oleh peristiwa hujan badai, puisi yang berjudul “Cempaka” (karya Amir Hamzah) tentu isinya dipengaruhi oleh tumbuhan bunga cempaka yang diamati penyair, dan lain sebagainya.
Bagaimana cara menemukan unsur ekstrinsik puisi? Isi puisi itu merupakan satu-satunya tempat yang digunakan oleh pengarang untuk mengimplementasikan atau mengekspresikan unsur ekstrinsik puisi. Oleh karena itu, cara menemukan unsur ekstrinsik puisi adalah dengan memahami isi puisi terlebih dahulu, kemudian di dalam isi puisi itu, kita cari hal-hal ekstrinsik seperti nilai-nilai sosial, nilai-nilai agama, norma-norma masyarakat, tradisi, adat istiadat, kebiasaan, kondisi politik, lingkungan hidup, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Cara lain menemukan unsur ekstrinsik adalah dengan mewawancarai pengarangnya secara langsung, tentu saja hal ini dapat dilakukan apabila si pengarang masih hidup dan terjangkau. Cara kedua ini dapat kita lakukan karena sang pengarang adalah orang yang paling tahu tentang puisi karangannya. Dialah yang memiliki motivasi, tendensi, pandangan hidup, serta struktur kehidupan sosial yang tercermin di dalam puisi tersebut. Namun, cara kedua ini biasanya hanya dilakukan oleh mahasiswa atau peneliti sastra untuk keperluan penelitian sastra yang betul-betul serius.

Unsur Intrinsik Puisi

Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur di dalam puisi yang membangun sebuah puisi sehingga puisi tersebut menjadi utuh. Unsur intrinsik puisi itu secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu (1) isi puisi, disebut juga struktur batin (deep structure) dan (2) kulit puisi, disebut juga struktur kulit (surface structure). Isi puisi (deep structure) itu dibangun oleh empat unsur, yaitu: (1) tema, (2) rasa, (3) suasana, (4) nada, dan (5) pesan atau amanat atau maksud puisi. Kulit puisi (surface structure) itu dibangun oleh enam unsur, yaitu: (1) tipografi atau perwajahan puisi, (2) rima atau persamaan bunyi, (3) imaji atau citraan, (4) kata konkret, (5) gaya bahasa, dan (6) diksi atau pilihan kata. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut ini!

(1) Tema (sense)

Di dalam puisi, terdapat makna. Makna puisi bisa terdapat pada tataran kata, larik, bait, maupun keseluruhan. Makna puisi adalah pemahaman kita selaku pembaca terhadap kata, larik, bait, dan keseluruhan teks puisi. Jadi, sesuatu yang kita pahami itu disebut makna. Kumpulan makna yang kita peroleh dari kata, larik, bait, dan keseluruhan itu membentuk satu gagasan pokok. Nah, satu gagasan pokok itu disebut tema. Dengan kata lain, tema puisi adalah gagasan pokok yang kita simpulkan dari kumpulan makna yang kita peroleh dari tiap kata, larik, dan bait puisi tersebut.

(2) Rasa & Suasana (feeling)

Rasa dan suasana sering ada di dalam puisi karena puisi adalah ungkapan perasaan, tapi keduanya tak selalu ada secara bersamaan. Oleh karena itu, untuk dapat mengidentifikasi rasa dan suasana puisi, kita harus dapat memahami isi puisi itu lebih dulu. Sebenarnya, rasa adalah perasaan atau keadaan hati penyair yang tergambar di dalam isi puisi, sedangkan suasana adalah suasana yang tergambar dalam isi puisi. Namun demikian, pengertian rasa dan suasana ini sering disamakan atau dianggap sama karena keduanya sama-sama hadir dan terimajinasi di dalam hati. Sebagai contoh, seseorang yang berada di ruang pesta belum tentu merasakan suasana ramai, bisa jadi merasakan suasana sepi karena perasaannya saat itu sedang sepi.
Perhatikan contoh di bawah ini!
Bersorak jiwaku girang-gemirang
Melihat bendera berkibar-kibar
Tamsil kegembiraan limpah-melimpah
Dalam kencana sinar-suminar
Sebagai angkatan kapal terbang
Gembira dahsyat getaran udara
Begitulah angkatan jaman sekarang
Dunia raya penuh suara
@ Rasa: gembira dan bangga. @ Suasana: gembira.

(3) Nada (tone)

Nada yang dimaksud di sini adalah sikap penyair terhadap pembaca puisinya, yang tercermin melalui isi puisi tersebut. Dengan memahami isi dan tema sebuah puisi, biasanya kita akan dapat menangkap sikap penyair terhadap kita selaku pembaca. Dalam menyampaikan isi puisinya, penyair bisa menggunakan nada menggurui, sekadar memberi tahu, mendikte, menyalahkan, menyindir, mengolok-olok, memarahi, mengajak berpikir, mengajak merenung, menunjukkan masalah pada pembaca, merendahkan pembaca, dan sebagainya.
Perhatikan contoh berikut ini!
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju ke arah padang bakti.
@ Nada: menasihati pembaca (kutipan puisi tersebut bernada menasihati pembaca).

(4) Amanat / Pesan / Maksud (intention)

Amanat adalah pesan yang disampaikan oleh penyair melalui isi puisinya. Dalam puisi, amanat bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung, tapi kebanyakan disampaikan secara tidak langsung.
Perhatikan contoh penyampaian amanat secara tidak langsung berikut ini!
Jakarta menangis
Melihat anak-anak kecil
Berlarian memburu
Sesuap nasi yang tercecer
Di sudut-sudut kota yang pengap
@ Amanat: Marilah peduli pada nasib anak-anak yang kurang beruntung.
Perhatikan contoh penyampaian amanat secara langsung berikut ini!
Andai pemuda-pemudimu
Memiliki sifat sepertimu
Bersama membangun... menjaga, kerja sama
Demi tercapainya persatuan dan kesatuan
@ Amanat: hendaknya para pemuda bekerja sama membangun, serta menjaga persatuan dan kesatuan.
Agar Anda semakin paham, perhatikan contoh analisis struktur isi puisi berikut ini!
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu miskin harta
Akh, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju ke arah padang bakti.
@ Isi puisi: seseorang yang sudah tua merasa menyesal karena sudah menyia-nyiakan masa muda sehingga sekarang ia miskin ilmu dan miskin harta. @ Tema: penyesalan. @ Rasa: menyesal. @ Suasana: sedih. @ Nada: menasihati pembaca. @ Amanat: jangan menyia-nyiakan masa muda kita dengan kesenangan dan sikap santai agar kelak kita tidak miskin ilmu dan tidak miskin harta.

(5) Tipografi (Perwajahan Puisi)

Tipografi (perwajahan) adalah pengaturan atau penataan letak kata, larik, dan bait dalam puisi. Penataan letak kata, larik, dan bait itu bertujuan untuk menciptakan keindahan puisi dan makna puisi. Tipografi sering digunakan sebagai simbol atau penggambaran makna puisi. Pada puisi-puisi konvensional, kata-kata ditata dalam deret larik, kemudian beberapa larik diikat dalam bait-bait secara teratur. Namun, saat ini puisi tidak harus seperti itu, boleh ditata membentuk gambar-gambar tertentu.



(6) Rima (Persamaan Bunyi)

Rima adalah persamaan bunyi yang terdapat di dalam puisi. Rima terbagi menjadi dua macam, yaitu rima horizontal (rima dalam) dan rima vertikal (rima luar). Rima horizontal adalah rima yang terjadi di dalam sebuah larik, sedangkan rima vertikal adalah rima yang terjadi di antara dua larik (atau lebih) yang berbeda. Rima vertikal terbagi menjadi tiga macam, yaitu rima vertikal awal, rima vertikal tengah, dan rima vertikal akhir.
Perhatikan contoh berikut ini!
Tubuhku kaku terpaku, hatiku pilu
Sepisau luka teteskan darah
Sepisau duka teteskan air mata
Kesempatanku sudah melayang
Kegagalanku datang membayang
@ Persamaan bunyi [ku] yang ada di dalam larik ke-1 itu disebut rima horizontal karena persamaan bunyi tersebut terjadi di dalam satu larik saja. @ Persamaan bunyi [sepisau] pada larik ke-2 dan ke-3 itu disebut rima vertikal awal karena persamaan bunyi tersebut terjadi pada larik yang berbeda dan berada di awal larik. @ Persamaan bunyi [uka teteskan] pada larik ke-2 dan ke-3 itu disebut rima vertikal tengah karena persamaan bunyi tersebut terjadi pada larik yang berbeda dan berada di tengah-tengah larik. @ Persamaan bunyi [ayang] pada larik ke-4 dan ke-5 itu disebut rima vertikal akhir karena persamaan bunyi tersebut terjadi pada larik yang berbeda dan berada di akhir larik.

(7) Imaji (citraan)

Imaji (pengimajian atau citraan) adalah kata atau kelompok kata yang dapat memberikan imajinasi pengalaman indrawi: penglihatan, pendengaran, penciuman/pembauan, pengecapan, perabaan, dan perasaan.
Perhatikan contoh berikut ini!
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji penglihatan karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan sesuatu yang terlihat oleh mata kita.
Lonceng berdentang merajam telingaku           
Gemericik air seolah membasuh dahaga          
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji pendengaran karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan bunyi yang terdengar telinga.
Manis di kulit belum tentu manis di daging       
Pahit getir hidup telah kaulalui 
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji pengecapan karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan rasa kecap lidah kita.
Halus mulus terasa       
Aku terbuai keras dan lembut   
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji perabaan karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan hasil rabaan tangan kita.
Ketika pintu terbuka, semerbak harum 
Kian lama, wangi itu kian membusuk!  
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji penciuman/pembauan karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan bau pada hidung kita.
Radang rindu semakin rindu     
Rindu sirna berganti benci!
@ Kata-kata yang bergaris bawah tersebut merupakan imaji perasaan karena kata-kata tersebut bisa mengimajinasikan perasaan hati kita.

(8) Kata Konkret

Kata konkret berhubungan erat dengan imaji. Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra. Jadi, kata yang digunakan untuk menciptakan imaji adalah kata konkret. Dengan kata lain, kata konkret adalah kata-kata yang bisa menimbulkan imaji.
Perhatikan contoh berikut ini!
No
Imaji
Kata Konkret
1
Penglihatan
Merah, kuning, biru, kucing, anjing, ular, gunung, awan berarak, tanah, batu, dll.
2
Pendengaran
Dengung, deru, ringkik, desing, dengking, lengking, kicau, kecek, repet, repek, gemertak, kerincing, kelening-kelenung, gelegak, gelegar, gemericik, dentum, desir, menyuit, dengkur, bising, dll.
3
Penciuman
Asam, pedis, kohong, pesing, apak, basi, bangar, busuk, anyir, tengik, dll.
4
Pengecapan
Pedas, pahit, asam, gayau, asin, manis, kelat, dll.
5
Perabaan
Dingin, panas, lembab, basah, kering, kasar, kasap, kerut, halus, lembut, rata, licin, gelenyar, geli, dll.
6
Perasaan
Sedih, senang, gembira, riang, duka, pedih, kaget, dll.

(9) Gaya Bahasa

Gaya bahasa bisa terdapat di dalam puisi, bisa pula dalam cerita atau novel. Gaya bahasa sering digunakan untuk meningkatkan efek keindahan, menekankan nilai rasa, mengekspresikan perasaan pengarang, dan lain-lain. Gaya bahasa itu sebenarnya banyak sekali macamnya. Berdasarkan langsung-tidaknya makna, gaya bahasa terbagi menjadi dua macam, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (majas). Karena pembahasan tentang gaya bahasa ini cukup panjang, untuk lebih jelasnya, silakan baca artikel saya yang berjudul Gaya Bahasa (silakan diklik).

(10) Diksi (Pilihan Kata)

Diksi adalah pemilihan kata-kata atau istilah yang dilakukan oleh seorang penyair dalam puisinya. Pemilihan kata dilakukan oleh penyair dengan mempertimbangkan (1) makna kata, (2) nilai rasa suatu kata, dan (3) bunyi-bunyi kata. Dengan mempertimbangkan tiga hal itu, pemilihan kata dilakukan oleh penyair untuk keperluan penciptaan tema, amanat/pesan, nada/rasa, rima (persamaan bunyi), kata konkret, imaji (citraan), ataupun gaya bahasa.

Daftar Pustaka

Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, & Hani’ah. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Diah Erna Triningsih. 2009. Diksi (Pilihan Kata). Klaten: PT Intan Pariwara.
Gorys Keraf. 1984. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Cetakan ke-7. Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah.
Gorys Keraf. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa (Komposisi Lanjutan I). Cetakan ke-15. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi ke-3. Cetakan ke-3. Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka.
Rachmat Djoko Pradopo. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Wahyudi Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.